Welcome...Selamat Datang...

Kamis, 19 September 2013

Memaknai Kebahagiaan


Tujuan hidup manusia apapun latar belakang suku bangsa, budaya maupun agamanya selalu sama; mencapai kebahagiaan. Selalu ada jawaban yang berbeda-beda setiap kali terlontar pertanyaan ke seseorang tentang bagaimana ia memaknai kebahagiaan. Ada seseorang yang bahagia apabila apa yang diinginkan diperoleh. Yang lain merasa bahagia kalau hasil belajarnya mendapatkan nilai bagus dalam ujian. Sementara banyak pula yang mengatakan bahagia saat memiliki banyak uang dan bisa memenuhi semua keinginannya.

Dari semua jawaban yang tampak berbeda-beda dalam memaknai kebahagiaan tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan dalam tiga teori kebahagiaan, yakni hedonisme, pengembangan diri dan utilitarisme. Dua teori yang pertama mengacu pada kepentingan diri sendiri sedangkan yang ketiga mengacu pada kepentingan orang lain.

Hedonisme merupakan teori tentang kebahagiaan yang paling populer saat ini. Teori ini mengatakan bahwa pada dasarnya apapun yang dilakukan oleh manusia muaranya adalah kenikmatan sebanyak mungkin yang bisa membahagiakan. Inilah yang terjadi saat ini, banyak orang berlomba-lomba mencari kenikmatan fisik dengan melakukan segala macam cara. Namun kalau kita renungkan lebih dalam tentu tidak seratus persen benar teori ini. Manusia terdiri dari unsur fisik dan psikis dan kenikmatan biasanya hanya memenuhi unsur fisik. Sedangkan kebahagiaan manusia pada umumnya selalu lebih dominan melibatkan unsur psikis yakni batiniah.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa membuktikan bahwa ternyata tidak selalu kenikmatan fisik membahagiakan. Banyak individu yang melulu mengejar kenikmatan fisik hidupnya justru tidak bahagia. Sebaliknya banyak juga individu yang rela melakukan banyak hal yang nampaknya tidak memberi kenikmatan secara fisik tapi membahagiakan batin. Kita bisa memperhatikan apa yang pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi atau Mother Teresa. Mereka lebih memilih yang tidak nikmat secara fisik dalam kehidupan mereka tetapi membahagiakan. Jadi tidak selalu benar bahwa kebahagiaan senantiasa bisa dicapai melalui kenikmatan fisik melulu.

Selanjutnya mengenai teori pengembangan diri. Teori ini mengatakan bahwa pada dasarnya manusia akan bahagia kalau seluruh potensi diri serta bakat yang dimilikinya berkembang. Individu yang menganut atau menjalankan teori ini pada umumnya akan melakukan apa pun agar bakat atau talenta yang dimilikinya berkembang. Pada kenyataannya teori ini juga tidak seratus persen tepat dan baik. Individu yang melulu mengejar pengembangan bakatnya akan cenderung egois atau cinta diri yang berlebihan dalam mengejar pengembangan bakatnya. Bahkan sering mengabaikan kepentingan orang lain. Contoh indivdu yang melakukan teori ini salah satunya adalah seniman. Kebanyakan seniman mengejar pengembangan talentanya. Melulu mengejar pengembangan talenta bisa berbahaya karena bisa berujung frustrasi manakala tidak tercapai.

Kemudian teori ketiga, utilitarisme yakni teori yang mengatakan bahwa kebahagiaan dicapai dengan mengacu pada tindakan yang menghasilkan manfaat sebanyak mungkin bagi orang lain. Teori ini tentu lebih baik dan positif dibandingkan dengan dua teori sebelumnya dimana orientasinya bukan pada kepentingan diri sendiri melainkan pada orang lain. Semua agama dan ajaran moral biasanya mengajarkan sikap tidak egois yang dianut oleh teori utilitarisme ini. Teori ini sangat populer di dalam penataan kehidupan sosial kemasyarakatan. Hampir setiap keputusan yang diambil oleh para penyelengara tatanan masyarakat dan negara selalu berpedoman agar bermanfaat sebanyak mungkin untuk masyarakat. Namun kita perlu selalu kritisi penerapan teori ini. Pada kehidupan bermasyarakat seringkali dengan alasan demi kepentingan banyak orang kepentingan individu diabaikan. Sering kali terjadi individu diperlakukan secara tidak adil dengan alasan demi kepentingan banyak orang. Dalam lingkup masyarakat yang lebih kecil, keluarga, juga sering terjadi demi kepentingan seluruh keluarga lalu kepentingan individu dikorbankan. Namun bagaimanapun juga teori utilitarisme ini tetap lebih baik apalagi bila prinsip keadilan tidak dilanggar. Kepentingan-kepentingan individu juga dipertimbangkan.

Akhirnya menurut renungan dan refleksi saya tentang kebahagiaan dapat saya maknai bahwa rasa bahagia tidak terikat pada pengalaman-pengalaman tertentu. Manusia bisa bahagia tanpa adanya pengalaman kenikmatan tertentu. Begitu pula ia dapat menikmati sesuatu tanpa merasa bahagia. Kebahagiaan adalah sebuah kesadaran puas dan gembira yang berdasar pada keadaan kita sendiri. Kebahagiaan bisa kita capai manakala kita lepas bebas tidak terikat oleh pamrih dan cinta diri. Tulisan ini hanya bermaksud berbagi refleksi diri tidak lebih.

Salam bahagia penuh cinta.

***
Solo, Selasa, 16 April 2013
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: intisari-online.com

0 comments:

Posting Komentar