Selama ini setiap kali pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang terjadi bukanlah suasana pendidikan. Para guru yang semestinya menjalankan peran tut wuri handayani malahan bertugas layaknya polisi atau satpam yang mengawasi siswa-siswi yang seolaholah mereka seperti para pelaku Kriminal. Suasana UN tidak lagi menjadi suasana pendidikan tapi suasana kecemasan dan bahkan ketakutan yang mencekam.
Sejak dalam kegiatan belajar mengajar guru sudah tidak lagi berperan sebagai pengajar dan pendidik melainkan menjadi layaknya seorang programmer komputer dimana para siswa diperlakukan layaknya sebuah komputer. Para siswa diprogram secara massive dalam bentuk pengerjaan bertumpuk Lembar Kerja Siswa (LKS). Bukan kah semestinya peran guru sebagai motivator bagi para siswa dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan membentuk karakter bukan hanya sebagai pembimbing dalam menyiasati soal atau bahkan hanya sebagai seseorang yang sudah memiliki kunci jawaban soal-soal di LKS.
Dalam persiapan pelaksanaan UN pun terjadi suasana yang aneh. Sampai terjadi suatu sekolah para gurunya dibantu dengan aparat keamanan menjalankan peran mensterilkan sekolah dari kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN. Pengambilan soal UN pun harus menggunakan pengawalan polisi. Bukankah ini aneh? Guru tidak lagi dipercaya dalam pelaksanaan suatu ujian.
Dalam pelaksanaan ujian, apa pun bentuknya, semestinya para guru menciptakan suasana tenang bagi para peserta didik dalam mengukur hasil belajar mereka dan bukan menjadi layaknya monster petugas keamanan. Para siswa seharusnya mendapat suasana ketenangan dan bukan dalam suasana yang terawasi seperti akan bertindak kriminal. Seperti masyarakat ketahui, saat ini bahkan banyak sekolah yang melengkapi ruang kelas sekolah dengan CCTV. Suasana pendidikan menjadi sangat tidak manusiawi; penuh kecurigaan.
Semua paparan di atas tadi menunjukkan bahwa betapa pendidikan dan khususnya peran guru sudah dilecehkan akibat penerapan UN. Sesungguhnya kalau para guru diperankan sebagimana mestinya dan bukan sebagai pemrogram pengerjaan UN, pasti kegiatan belajar mengajar khususnya dan pendidikan pada umumnya akan berlangsung lebih manusiawi.
Kalau pemerintah atau masyarakat ingin mengetahui seberapa jauh kualitas pendidikan di negeri ini sebenarnya tidak perlu dengan bentuk pelaksanaan UN seperti saat ini yang terasa menghakimi para siswa dalam kurun waktu 3-4 hari saja. Bahkan pelaksanaannya sangat primitif. Dalam era kemajuan tehnologi informasi saat ini pelaksanaan dan penyediaan soal ujian masih dikirim dari pusat dalam keadaan tercetak. Mengapa tidak dicetak di percetakan daerah? Pastilah ada sesuatu yang berlangsung tidak wajar dalam mekanisme ujian yang terkesan primitif ini.
Pengukuran kualitas pendidikan sebenarnya bisa diserahkan kepada lembaga survei independen. Tidak perlu dalam bentuk UN yang faktanya hanya memboroskan anggaran. Bahkan sebaiknya pelaksanaannya tidak perlu serentak dan terjadwal, jadi setiap sekolah bahkan setiap siswa akan terukur apa adanya setiap saat terjadi pengukuran kualitas pendidikan oleh pemerintah. Dalam pelaksanaan pengukuran kualitas pendidikan ini para guru tinggal mengawasi apakah pelaksanaannya benar-benar valid atau tidak.
Akhirnya paparan ini, sekali lagi, bukan untuk memandang sebelah mata apa yang sudah dikerjakan oleh para guru namun justru masukan bagi para guru agar tidak mau dilecehkan perannya. UN dalam fungsinya seperti saat ini memang layak ditinjau kembali atau bahkan dihapuskan. Mari kita kembalikan pendidikan ini sebagai sarana memanusiakan manusia dan bukan menjadikan manusia sebagai obyek kepentingan ekonomi semata. Mari kita tunjukkan bahwa para guru sejati bukanlah guru yang semakin memperkuat sekolah sebagai bentuk kapitalisme yang licik.
Salam kritis penuh cinta.
Sejak dalam kegiatan belajar mengajar guru sudah tidak lagi berperan sebagai pengajar dan pendidik melainkan menjadi layaknya seorang programmer komputer dimana para siswa diperlakukan layaknya sebuah komputer. Para siswa diprogram secara massive dalam bentuk pengerjaan bertumpuk Lembar Kerja Siswa (LKS). Bukan kah semestinya peran guru sebagai motivator bagi para siswa dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan membentuk karakter bukan hanya sebagai pembimbing dalam menyiasati soal atau bahkan hanya sebagai seseorang yang sudah memiliki kunci jawaban soal-soal di LKS.
Dalam persiapan pelaksanaan UN pun terjadi suasana yang aneh. Sampai terjadi suatu sekolah para gurunya dibantu dengan aparat keamanan menjalankan peran mensterilkan sekolah dari kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN. Pengambilan soal UN pun harus menggunakan pengawalan polisi. Bukankah ini aneh? Guru tidak lagi dipercaya dalam pelaksanaan suatu ujian.
Dalam pelaksanaan ujian, apa pun bentuknya, semestinya para guru menciptakan suasana tenang bagi para peserta didik dalam mengukur hasil belajar mereka dan bukan menjadi layaknya monster petugas keamanan. Para siswa seharusnya mendapat suasana ketenangan dan bukan dalam suasana yang terawasi seperti akan bertindak kriminal. Seperti masyarakat ketahui, saat ini bahkan banyak sekolah yang melengkapi ruang kelas sekolah dengan CCTV. Suasana pendidikan menjadi sangat tidak manusiawi; penuh kecurigaan.
Semua paparan di atas tadi menunjukkan bahwa betapa pendidikan dan khususnya peran guru sudah dilecehkan akibat penerapan UN. Sesungguhnya kalau para guru diperankan sebagimana mestinya dan bukan sebagai pemrogram pengerjaan UN, pasti kegiatan belajar mengajar khususnya dan pendidikan pada umumnya akan berlangsung lebih manusiawi.
Kalau pemerintah atau masyarakat ingin mengetahui seberapa jauh kualitas pendidikan di negeri ini sebenarnya tidak perlu dengan bentuk pelaksanaan UN seperti saat ini yang terasa menghakimi para siswa dalam kurun waktu 3-4 hari saja. Bahkan pelaksanaannya sangat primitif. Dalam era kemajuan tehnologi informasi saat ini pelaksanaan dan penyediaan soal ujian masih dikirim dari pusat dalam keadaan tercetak. Mengapa tidak dicetak di percetakan daerah? Pastilah ada sesuatu yang berlangsung tidak wajar dalam mekanisme ujian yang terkesan primitif ini.
Pengukuran kualitas pendidikan sebenarnya bisa diserahkan kepada lembaga survei independen. Tidak perlu dalam bentuk UN yang faktanya hanya memboroskan anggaran. Bahkan sebaiknya pelaksanaannya tidak perlu serentak dan terjadwal, jadi setiap sekolah bahkan setiap siswa akan terukur apa adanya setiap saat terjadi pengukuran kualitas pendidikan oleh pemerintah. Dalam pelaksanaan pengukuran kualitas pendidikan ini para guru tinggal mengawasi apakah pelaksanaannya benar-benar valid atau tidak.
Akhirnya paparan ini, sekali lagi, bukan untuk memandang sebelah mata apa yang sudah dikerjakan oleh para guru namun justru masukan bagi para guru agar tidak mau dilecehkan perannya. UN dalam fungsinya seperti saat ini memang layak ditinjau kembali atau bahkan dihapuskan. Mari kita kembalikan pendidikan ini sebagai sarana memanusiakan manusia dan bukan menjadikan manusia sebagai obyek kepentingan ekonomi semata. Mari kita tunjukkan bahwa para guru sejati bukanlah guru yang semakin memperkuat sekolah sebagai bentuk kapitalisme yang licik.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 18 April 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar