Mengikuti perkembangan pendidikan formal di negeri ini, rasanya jadi miris. Kalau hanya sekedar melihat angka-angka anggaran belanja yang digelontorkan untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen mungkin tema artikel ini terasa mengada-ada. Namun kalau dengan mengamati kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan formal pasti tema itu masih sangat relevan dan aktual.
Peristiwa nasional yang paling menghebohkan dan memalukan adalah keterlambatan distribusi soal Ujian Nasional (UN) dan berlanjut penundaan pelaksanaannya di 11 propinsi. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah dan secara khusus Kemendikbud meremehkan pendidikan. Di satu sisi terus mempertahankan UN harus tetap diselenggarakan tiap tahunnya namun pelaksanaannya tidak serius.
Ketidakberesan di pencetakan soal sungguh aneh bisa terjadi. UN bukan baru kali ini berlangsung dan seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Faktanya distribusi soal bermasalah, kualitas kertas sangat buruk, jam pelaksanaan tidak serentak pada waktu pagi hari semua dan masih banyak lagi kekacauan dalam pelaksanaannya. Keterlambatan dan kualitas yang buruk di pencetakan bisa terjadi karena pelaksanaan yang asal-asalan. Percetakan kemungkinan besar memenangkan tender pencetakan dengan membagi upeti ke berbagai pihak kemudian berlanjut pada pelaksanaan pencetakannya yang asal-asalan karena tidak mau untungnya sedikit. Hal ini kemungkinan mirip dengan kasus proyek Hambalang maupun proyek-proyek pembangunan fisik yang lain. Kualitasnya buruk karena terlalu banyak dikorupsi.
Pelecehan pemerintah terhadap pendidikan formal tidak hanya terjadi pada penerapan dan pelaksanaan UN saja. Pemaksaan penerapan kurikulum pendidikan 2013 juga menunjukkan tabiat buruk pemerintah yang lain lagi. Padahal berbagai pihak dan secara khusus para guru, yang merupakan pelaksana terdepan kurikulum pendikan, banyak yang merasa keberatan dengan muatannya dan memohon untuk ditangguhkan atau bahkan dibatalkan. Namun pemerintah, secara khusus Mendikbud, keras kepala dan menyatakan bahwa kesulitan dalam pelaksanaannya akan diselesaikan dengan penyelenggaraan penataran-penataran. Nah, bukankah ini ujungnya pada orientasi proyek yang akan lebih mudah dikorupsi.
Penggunaan dana pendidikan selama ini lebih banyak digunakan untuk perbaikan sarana fisik sekolah dan peningkatan kesejahteraan guru. Lebih banyak untuk guru negeri, padahal banyak sekali guru swasta yang sungguh tulus mengabdi tapi tidak tersentuh oleh uang rakyat yang 20 persen tersebut. Perbaikan sarana fisik pun hanya tampak biaya besar diatas kertas pengajuan proyek, pada pelaksanaanya semua tahu juga sangat korup. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi bagian terpenting peningkatan kualitas SDM negara dan bangsa ini akhirnya hanya menjadi ajang keserakahan penyelenggara negara ini yang bertinadak layaknya makelar yang tamak. KPK seharusnya juga terus memantau dan menindaklanjuti temuan korupsi yang terjadi di Kemendikbud.
Penggunaan anggaran pendidikan seharusnya untuk penyediaan pendidikan formal yang terjangkau untuk rakyat miskin. Bahkan seharusnya pendikan di sekolah negeri seharusnya gratis penuh sesuai amanat konstitusi tentang wajib belajar. Pemerintah seharusnya mengutamakan pendidikan di sekolah negeri gratis dan hanya bagi mereka yang tidak mampu namun serius membutuhkan pendidikan formal. Pemerintah juga perlu membantu penyelenggaraan sekolah oleh swasta yang mau menyelenggarakan pendidikan yang baik bagi orang-orang miskin di daerah terpencil. Bagi masyarakat yang mampu sebaiknya pemerintah mengarahkan mereka untuk menggunakan sarana pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swasta yang biasanya memang tidak mungkin gratis. Pemerintah harus mengembalikan sekolah swasta sebagai mitra dan tidak malah mematikannya seperti yang terjadi akhir-akhir ini di daerah terpencil.
Selama ini di negeri ini terus terjadi mafia peradilan, mafia kesehatan (dunia kedokteran) dan terang benderang mafia pendidikan. Jikalau situasi pendidikan formal di negeri ini terus menerus seperti saat ini maka semakin pastilah bangsa ini memasuki kehancuran. Tidak ada kata lain kita mesti mereformasi dan bahkan merevolusi pendidikan di negeri ini. Revolusi dunia pendikan merupakan kebutuhan yang mendesak, namun tidak bisa hanya diputuskan berdasarkan kepentingan sesaat . Revolusi yang segera kita lakukan saat ini pun pasti baru akan terasa dampaknya satu generasi ke depan. Hal ini sepertinya sulit diharapkan terjadi di era pemerintahan sekarang yang keras kepala dan bebal ini. Era pemerintahan yang meremehkan pendidikan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi dan menjadi bahan pertobatan bagi pemerintah terkait masalah pendidikan. Kesalahan tidak cukup diselesaikan dengan empat huruf “maaf” tetapi harus ditindaklanjuti dengan berubah menjadi lebih baik. Pemerintah sebagai pemegang mandat konstitusi dan jika berpihak kepada rakyat seharusnya memperlakukan masalah pendidikan ini sebagai masalah yang paling utama. Pemerintahan yang baru hasil pemilu 2014 nanti seharusnya tidak mengulang terus kebusukan dan perilaku koruptif para penyelenggara negara khususnya penyelenggara pendidikan. NKRI yang semakin berpihak kepada rakyat yang semakin cerdas dan maju menjadi tujuan bersama kita.
Salam kritis penuh cinta.
Peristiwa nasional yang paling menghebohkan dan memalukan adalah keterlambatan distribusi soal Ujian Nasional (UN) dan berlanjut penundaan pelaksanaannya di 11 propinsi. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah dan secara khusus Kemendikbud meremehkan pendidikan. Di satu sisi terus mempertahankan UN harus tetap diselenggarakan tiap tahunnya namun pelaksanaannya tidak serius.
Ketidakberesan di pencetakan soal sungguh aneh bisa terjadi. UN bukan baru kali ini berlangsung dan seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Faktanya distribusi soal bermasalah, kualitas kertas sangat buruk, jam pelaksanaan tidak serentak pada waktu pagi hari semua dan masih banyak lagi kekacauan dalam pelaksanaannya. Keterlambatan dan kualitas yang buruk di pencetakan bisa terjadi karena pelaksanaan yang asal-asalan. Percetakan kemungkinan besar memenangkan tender pencetakan dengan membagi upeti ke berbagai pihak kemudian berlanjut pada pelaksanaan pencetakannya yang asal-asalan karena tidak mau untungnya sedikit. Hal ini kemungkinan mirip dengan kasus proyek Hambalang maupun proyek-proyek pembangunan fisik yang lain. Kualitasnya buruk karena terlalu banyak dikorupsi.
Pelecehan pemerintah terhadap pendidikan formal tidak hanya terjadi pada penerapan dan pelaksanaan UN saja. Pemaksaan penerapan kurikulum pendidikan 2013 juga menunjukkan tabiat buruk pemerintah yang lain lagi. Padahal berbagai pihak dan secara khusus para guru, yang merupakan pelaksana terdepan kurikulum pendikan, banyak yang merasa keberatan dengan muatannya dan memohon untuk ditangguhkan atau bahkan dibatalkan. Namun pemerintah, secara khusus Mendikbud, keras kepala dan menyatakan bahwa kesulitan dalam pelaksanaannya akan diselesaikan dengan penyelenggaraan penataran-penataran. Nah, bukankah ini ujungnya pada orientasi proyek yang akan lebih mudah dikorupsi.
Penggunaan dana pendidikan selama ini lebih banyak digunakan untuk perbaikan sarana fisik sekolah dan peningkatan kesejahteraan guru. Lebih banyak untuk guru negeri, padahal banyak sekali guru swasta yang sungguh tulus mengabdi tapi tidak tersentuh oleh uang rakyat yang 20 persen tersebut. Perbaikan sarana fisik pun hanya tampak biaya besar diatas kertas pengajuan proyek, pada pelaksanaanya semua tahu juga sangat korup. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi bagian terpenting peningkatan kualitas SDM negara dan bangsa ini akhirnya hanya menjadi ajang keserakahan penyelenggara negara ini yang bertinadak layaknya makelar yang tamak. KPK seharusnya juga terus memantau dan menindaklanjuti temuan korupsi yang terjadi di Kemendikbud.
Penggunaan anggaran pendidikan seharusnya untuk penyediaan pendidikan formal yang terjangkau untuk rakyat miskin. Bahkan seharusnya pendikan di sekolah negeri seharusnya gratis penuh sesuai amanat konstitusi tentang wajib belajar. Pemerintah seharusnya mengutamakan pendidikan di sekolah negeri gratis dan hanya bagi mereka yang tidak mampu namun serius membutuhkan pendidikan formal. Pemerintah juga perlu membantu penyelenggaraan sekolah oleh swasta yang mau menyelenggarakan pendidikan yang baik bagi orang-orang miskin di daerah terpencil. Bagi masyarakat yang mampu sebaiknya pemerintah mengarahkan mereka untuk menggunakan sarana pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swasta yang biasanya memang tidak mungkin gratis. Pemerintah harus mengembalikan sekolah swasta sebagai mitra dan tidak malah mematikannya seperti yang terjadi akhir-akhir ini di daerah terpencil.
Selama ini di negeri ini terus terjadi mafia peradilan, mafia kesehatan (dunia kedokteran) dan terang benderang mafia pendidikan. Jikalau situasi pendidikan formal di negeri ini terus menerus seperti saat ini maka semakin pastilah bangsa ini memasuki kehancuran. Tidak ada kata lain kita mesti mereformasi dan bahkan merevolusi pendidikan di negeri ini. Revolusi dunia pendikan merupakan kebutuhan yang mendesak, namun tidak bisa hanya diputuskan berdasarkan kepentingan sesaat . Revolusi yang segera kita lakukan saat ini pun pasti baru akan terasa dampaknya satu generasi ke depan. Hal ini sepertinya sulit diharapkan terjadi di era pemerintahan sekarang yang keras kepala dan bebal ini. Era pemerintahan yang meremehkan pendidikan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi dan menjadi bahan pertobatan bagi pemerintah terkait masalah pendidikan. Kesalahan tidak cukup diselesaikan dengan empat huruf “maaf” tetapi harus ditindaklanjuti dengan berubah menjadi lebih baik. Pemerintah sebagai pemegang mandat konstitusi dan jika berpihak kepada rakyat seharusnya memperlakukan masalah pendidikan ini sebagai masalah yang paling utama. Pemerintahan yang baru hasil pemilu 2014 nanti seharusnya tidak mengulang terus kebusukan dan perilaku koruptif para penyelenggara negara khususnya penyelenggara pendidikan. NKRI yang semakin berpihak kepada rakyat yang semakin cerdas dan maju menjadi tujuan bersama kita.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Jumat, 19 April 2013
Solo, Jumat, 19 April 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar