Dalam keterangannya kepada pers
seusai upacara Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-68 di Jakarta, Jumat,
3 Januari 2013, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar menyatakan bahwa
pencantuman agama dalam elektronik kartu tanda penduduk atau e-KTP penting,
karena selain fungsi pelayanan dari pemerintah dapat dimaksimalkan juga dapat
mencegah perkawinan campuran beda agama.
Menurutnya, pencantuman agama
dalam e-KTP perlu dimunculkan, tetapi itu bukan dimaksudkan sebagai tindakan
diskriminasi bagi agama-agama di luar Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha
dan Konghucu. Penghapusan kolom agama di e-KTP lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya. Dari sisi undang-undang perkawinan saja jika seorang muslim tidak
mengetahui agama yang dianut calon istri kemudian menikah, perkawinannya
menurut fikih tidak sah. Bahkan anak yang lahir dari buah perkawinan itu
disebut anak hasil perzinaan.
Pernyataan Wamenag ini sungguh
gegabah, apalagi disampaikan oleh pejabat setingkat menteri. Mengapa perkawinan
campuran beda agama harus dicegah? Di satu sisi dia mengatakan bahwa pencantuman
agama di e-KTP bukan untuk diskriminasi tapi di sisi lain dia menyatakan bahwa
pencantuman itu dimaksudkan untuk kepentingan umat islam agar tidak terjadi
pernikahan dengan pasangan yang tidak sama beragama Islam karena tidak
diketahui agamanya berdasarkan e-KTP. Bukankah ini pernyataan yang
kontradiktif?
Mengapa kepentingan aturan
perkawinan menurut Islam harus dijadikan pertimbangan dalam kaitannya
pencantuman agama di e-KTP? Bukankah perkawinan atau pernikahan adalah hak setiap
orang? Seandainya KUA tidak yakin apakah pasangan yang akan dinikahkan
benar-benar beragama Islam, mudah saja, tidak usah dinikahkan secara Islam.
Biarlah mereka menikah menurut agama yang mau menikahkan mereka.
Pertanyaannya kemudian, pemecahan
seperti apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang untuk melakukan
pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi lagi
tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan
adalah merevisi Undang-Undang tentang perkawinan di Indonesia. Pembaruan
tersebut secara teoritis dilatari dengan alasan:
Pertama, bahwa perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan
keturunan adalah merupakan hak seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia.
Kedua, sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu
komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas nasionalitas.
Ketiga, dalam konteks negara demokrasi, maka beberapa prasyarat
yang dibutuhkan antara lain jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas political society, adanya rule
of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara dan kehidupan
organisasi yang independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru yang
demokratis, dan masyarakat ekonomi yang institutionalized.
Keempat, Indonesia merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas
tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga
agama sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah
mengakomodir semua warga negaranya tanpa membedakan latar belakangnya. Tujuan
dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut tidak lain agar semua warga negara
mendapat sebuah kepastian hokum.
Kelima, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat
keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban
negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu,
negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan
yang dianut.
Keenam, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah
wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen
hukum yang ada di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap
penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang
berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga.
Penolakan terhadap perkawinan
beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya jelas
bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak
beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
Berkaitan dengan pencatatan
perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak warga negara yang
mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan
adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua
agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan
sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas
yang bersifat yuridis-formal dan tanpa diskriminasi.
Maka, haruskah kawin campur beda
agama dicegah? Pernyataan Wamenag di atas benar-benar sembrono. Apakah lalu
seseorang tidak boleh menikah hanya karena tidak menganut salah satu agama di
Indonesia atau tidak mencantumkan agama di e-KTP-nya? Sekali lagi, seandainya
tanpa pencantuman agama di e-KTP meragukan pihak KUA (Islam) tentang agama
pasangan yang akan mereka nikahkan secara Islam, ya sudah, tidak usah
menikahkan mereka secara agama Islam. Biarlah mereka menikah secara agama lain
yang mau menikahkan mereka. Gitu aja koq
repot?
Salam damai penuh cinta.
Sumber Berita:
antaranews.com
***
Solo, Sabtu, 4 Januari 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar