Welcome...Selamat Datang...

Minggu, 26 Januari 2014

Haruskah Kawin Campur Beda Agama Dicegah?

Dalam keterangannya kepada pers seusai upacara Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-68 di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2013, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar menyatakan bahwa pencantuman agama dalam elektronik kartu tanda penduduk atau e-KTP penting, karena selain fungsi pelayanan dari pemerintah dapat dimaksimalkan juga dapat mencegah perkawinan campuran beda agama.

Menurutnya, pencantuman agama dalam e-KTP perlu dimunculkan, tetapi itu bukan dimaksudkan sebagai tindakan diskriminasi bagi agama-agama di luar Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Penghapusan kolom agama di e-KTP lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Dari sisi undang-undang perkawinan saja jika seorang muslim tidak mengetahui agama yang dianut calon istri kemudian menikah, perkawinannya menurut fikih tidak sah. Bahkan anak yang lahir dari buah perkawinan itu disebut anak hasil perzinaan.

Pernyataan Wamenag ini sungguh gegabah, apalagi disampaikan oleh pejabat setingkat menteri. Mengapa perkawinan campuran beda agama harus dicegah? Di satu sisi dia mengatakan bahwa pencantuman agama di e-KTP bukan untuk diskriminasi tapi di sisi lain dia menyatakan bahwa pencantuman itu dimaksudkan untuk kepentingan umat islam agar tidak terjadi pernikahan dengan pasangan yang tidak sama beragama Islam karena tidak diketahui agamanya berdasarkan e-KTP. Bukankah ini pernyataan yang kontradiktif?

Mengapa kepentingan aturan perkawinan menurut Islam harus dijadikan pertimbangan dalam kaitannya pencantuman agama di e-KTP? Bukankah perkawinan atau pernikahan adalah hak setiap orang? Seandainya KUA tidak yakin apakah pasangan yang akan dinikahkan benar-benar beragama Islam, mudah saja, tidak usah dinikahkan secara Islam. Biarlah mereka menikah menurut agama yang mau menikahkan mereka.

Pertanyaannya kemudian, pemecahan seperti apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang untuk melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi lagi tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang tentang perkawinan di Indonesia. Pembaruan tersebut secara teoritis dilatari dengan alasan:

Pertama, bahwa perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia.

Kedua, sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas nasionalitas.

Ketiga, dalam konteks negara demokrasi, maka beberapa prasyarat yang dibutuhkan antara lain jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas political society, adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara dan kehidupan organisasi yang independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru yang demokratis, dan masyarakat ekonomi yang institutionalized.

Keempat, Indonesia merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah mengakomodir semua warga negaranya tanpa membedakan latar belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut tidak lain agar semua warga negara mendapat sebuah kepastian hokum.

Kelima, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut.

Keenam, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang ada di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga.

Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal dan tanpa diskriminasi.

Maka, haruskah kawin campur beda agama dicegah? Pernyataan Wamenag di atas benar-benar sembrono. Apakah lalu seseorang tidak boleh menikah hanya karena tidak menganut salah satu agama di Indonesia atau tidak mencantumkan agama di e-KTP-nya? Sekali lagi, seandainya tanpa pencantuman agama di e-KTP meragukan pihak KUA (Islam) tentang agama pasangan yang akan mereka nikahkan secara Islam, ya sudah, tidak usah menikahkan mereka secara agama Islam. Biarlah mereka menikah secara agama lain yang mau menikahkan mereka. Gitu aja koq repot?

Salam damai penuh cinta.

Sumber Berita: antaranews.com

***
Solo, Sabtu, 4 Januari 2013
Suko Waspodo

0 comments:

Posting Komentar