Pemerintah dinilai tidak hanya
membiarkan kelompok kekerasan melakukan tindakan kriminal, bahkan secara tidak
langsung juga membuat mereka makin leluasa bertindak seenaknya sendiri.
Pemerintah dinilai membudidayakan kelompok kekerasan anti-perbedaan.
”Kalau kita menghargai perbedaan,
tentu juga memaklumi adanya kelompok ekstrem anti-keberagaman. Yang menjadi
masalah, pemerintah yang membiarkan tindak kriminal kelompok anti-keberagaman
terhadap pihak yang berbeda agama, bahkan sesama. Kelompok antitoleransi
seperti di-encourage penguasa,” kata putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid,
Inayah Wahid, dalam Sarasehan Quo Vadis Pluralisme di Kelenteng Gudo, Jombang,
Jawa Timur, Sabtu, 7 Desember 2013.
Inayah tampil di hadapan umat
lintas agama di kelenteng yang terletak tidak jauh dari Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang. Ia mengingatkan, tugas aparat pemerintah melindungi rakyat
yang dianiaya, bukan menentukan seseorang atau kelompok menganut ajaran sesat.
”Ada undang-undang yang
melindungi seluruh warga Indonesia dari penganiayaan. Itu tugas pemerintah
menegakkan undang-undang dan melindungi warganya,” ujar Inayah, disambut tepuk
tangan hadirin peringatan empat tahun wafatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Salahuddin Wahid, pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng mengungkapkan, semua agama pasti diyakini paling benar oleh
penganutnya. Namun, itu bukan menjadi penghalang membangun persaudaraan serta
memajukan bangsa. Dia mengatakan bahwa sebelum agama besar yang ada berkembang
di Indonesia, sudah ada agama-agama lokal asli Nusantara. Selanjutnya, agama
besar seperti Buddha, Hindu, Islam, Kristen masing-masing memberikan sumbangan
dalam peradaban bangsa.
Lebih lanjut dia mengatakan,
kalau tujuh kata dalam Piagam Jakarta tetap dicantumkan, bentuk Indonesia tentu
minus daerah-daerah yang tidak setuju dengan aturan tersebut. Oleh karena itu,
para ulama dan pendiri bangsa bersikap bijak untuk tidak mencantumkan tujuh
kata Piagam Jakarta dan membangun kesetaraan.
Salahuddin berharap pemerintah
bisa tegas menghadapi tindakan kekerasan atas nama agama. Ia merasa sangat heran
dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang datang ke Sampang, tetapi
meminta penyelesaian masalah pengungsi Syiah dilakukan Gubernur Jawa Timur,
Bupati, dan Majelis Ulama Indonesia.
Sahabat dekat Gus Dur, Bingky
Irawan, dalam kesempatan yang sama mengisahkan berbagai pengalamannya bersama
Gus Dur, termasuk saat memberikan ceramah tentang Khonghucu di hadapan ribuan
santri untuk saling membuka wawasan dan menghargai perbedaan.
Dalam kesempatan tersebut Konsul
Jenderal Amerika Serikat di Surabaya Joaquin F Monseratte mengatakan, Indonesia
adalah negara plural. Itu realitas yang tidak bisa ditawar. Warga AS yang punya
akar Eropa-Kristiani pun kini menghormati warga AS dengan latar budaya berbeda,
seperti Asia Timur, Pakistan, dan India, yang menjadi rakyat dengan hak dan
kewajiban setara.
”Gus Dur adalah bapak
rekonsiliasi Indonesia pada awal 2000-an ketika kondisi Indonesia sangat
memprihatinkan sebagai bangsa. Itu warisan yang harus diteruskan,” lanjutnya.
Tampil pula budayawan Putu
Sutawijaya yang menggarisbawahi jasa dan warisan Gus Dur tentang perbedaan
adalah karunia yang memperkaya kebangsaan Indonesia.
Acara mengenang Abdurrahman Wahid
ditutup dengan pembacaan doa dari perwakilan pemuka agama Islam, Kristen,
Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Minggu, 8 Desember 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar