Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) adalah suatu fakta sosial yang tak bisa kita hindari. Tuhan, Sang Pencipta kita, sungguh dahsyat. Ia menciptakan alam semesta dengan isinya ini penuh dengan keberagaman. Terlebih adalah manusia. Keberagaman manusia setara dengan jumlah individunya. Tak ada sepasang pun manusia yang benar-benar persis sama. Inilah bukti kebesaran maha karya Tuhan. Maka keberagaman Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan harus kita maknai sebagai karunia-Nya yang luar biasa.
Membicarakan keberagaman atau
kebinekaan tersebut janganlah dianggap sebagai hal yang tabu. Namun ini suatu
keniscayaan yang tidak harus kita hindari. Engkau, kalian atau mereka adalah
pribadi-pribadi yang berbeda yang harus kita terima. Menolaknya berarti kita menolak
Sang Pencipta. Perbedaan apabila dimaknai secara wajar dan positif selalu
menjadi sesuatu yang indah. Ibaratnya sebuah lukisan atau mozaik pasti akan
tidak menarik apabila hanya terdiri dari satu atau dua warna saja.
Memaknai perbedaan sebagai hal
yang wajar bisa kita cermati dalam pergaulan para siswa-siswi di
sekolah-sekolah swasta Katolik. Ini hanya sekedar contoh nyata yang masih
terjadi dari dulu sampai sekarang. Di sekolah-sekolah tersebut, yang
siswa-siswinya dari berbagai suku,agama, ras dan golongan, bukan hal yang tabu
memanggil temannya dengan penyebutan rasnya. Misalnya, hai Cina, hai
Encik/Arab (walau sekolah Katolik tapi sekolah tersebut ada siswa keturunan Arabnya),
hei Ambon dan sebagainya; tidak pernah terjadi percekcokan akibat tersinggung
dengan panggilan itu. Karena mereka diajarkan tentang perbedaan dan sudah
memahami pluralitas sebagai keniscayaan.
Sebaliknya kita lihat di dalam
masyarakat umum, sering terjadi masalah apabila menyangkut hal seperti di
sekolah tadi. Mengapa bisa terjadi begitu? Karena perbedaan telah dipolitisasi
sedemikian rupa sehingga hanya menguntungkan agama dan golongan tertentu.
Berbicara atau menuliskan tentang SARA di batasi dan dicurigai. Tentu saja yang
terjadi ketegangan terus menerus. Banyak orang mengaku ber-Tuhan tetapi tidak
mengakui keberagaman.
Yang semestinya dipersoalkan
adalah manakala terjadi ketidakadilan dengan dalih perbedaan SARA. Seseorang
dipersulit mengurus KTP hanya karena keturunan Cina. Di suatu perusahaan milik
keturunan Cina, karyawan dengan jabatan, tugas dan masa kerja yang sama, digaji
lebih rendah hanya karena dia bukan Cina.
Penerimaan siswa-siswi di sekolah-sekolah negeri dibatasi untuk
siswa-siswi non-muslim dan Cina. Hal-hal menyangkut SARA seperti inilah yang
mestinya diselesaikan. Negeri ini belum mereformasi masalah-masalah seperti
ini.
Sekali lagi SARA adalah suatu
keniscayaan yang indah. Janganlah kita
tabu berbicara masalah SARA apalagi bila menyangkut politisasi oleh golongan
tertentu dan menimbulkan ketidakadilan dan bahkan penindasan. Negeri ini
dilahirkan berdasarkan keberagaman maka marilah kita hargai perbedaan dan kita
tegakkan keadilan. Semoga tulisan refleksi ini bisa menjadi renungan kita
bersama.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 5 Desember 2013
Suko Waspodo
ilustr: Nusantara Kaya
0 comments:
Posting Komentar