Setiap kali menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN)maka kembali fenomena keresahan maupun kegalauan berulang kembali setiap tahun. Murid-murid, siswa-siswi, para orang tua dan bahkan para guru semuanya gundah gulana.
Murid-murid dan siswa-siswi mengalami kecemasan terhadap bagaimanakah nanti soal ujiannya dan apakah mereka sudah memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Terlebih bagi murid-murid kelas 6, yang baru pertama akan menempuh UAN, dilanda kekuatiran nantinya akan mengalami kesulitan dalam pengerjaan soal multiple choice dengan lembar jawab komputerisasi. Semuanya cemas terhadap kemungkinan mengalami kegagalan dalam meraih jenjang pendidikan berikutnya.
Para orang tua gelisah tentang nilai hasil UAN anak-anak mereka, terlebih mereka yang terlalu menekankan pentingnya rangking dan nilai-nilai angka bagi anak-anaknya. Tuntutan jumlah nilai tertentu yang harus dicapai agar anak-anak mereka memperoleh sekolah favorit mereka.
Para guru yang bidang studinya disertakan sebagai UAN galau kalau apa yang mereka ajarkan tidak terserap dengan baik oleh peserta didik dan nilai ujian mereka buruk dan tidak lulus. Bahkan sekolah sendiri juga cemas tidak mampu meluluskan 100 persen sehingga sekolah tersebut menjadi tidak laku pada tahun ajaran berikutnya, karena dianggap sekolah yang tidak berkualitas.
Kecemasan, keresahan, kegelisahan dan kegalauan itulah yang memang sengaja diciptakan oleh para pengambil kebijakan sistem pendidikan nasional khususnya mengenai UAN. Segala cara akhirnya dilakukan agar hasil UAN bisa terpenuhi sesuai tuntutan. Selanjutnya yang terjadi adalah Mafia dalam sistem pendidikan kita. Mengapa demikian? Marilah kita perhatikan apa yang akan coba saya paparkan hasil pengamatan dan pegalaman saya selama lebih dari 30 tahun menjadi guru (bagi saya terasa sebagai buruh pendidikan) dan secara khusus selama sistem UAN diterapkan.
Lembaga Bimbingan Belajar (LBB)
Banyak LBB diselengarakan dimana-mana’ mulai dari yang kecil tapi murah sampai yang mahal yang penyelenggaraannya menggunakan sistem bisnis waralaba. Penyelengaraannya adalah dengan mencecar para pesertanya dengan latihan mengerjakan dan mencermati ciri-ciri soal ujian pilihan ganda seperti yang dipakai pada UAN.
Masing-masing lembaga bimbingan belajar bersaing menawarkan kemungkinan lulus dengan nilai yang mendekati sempurna. Bahkan ada LBB yang berani menjamin pesertanya pasti lulus dan diterima di jenjang pendidikan pada sekolah favorit berikutnya yang mereka inginkan.
Bagaimana mungkin kelulusan terbaik bisa dijamin oleh lembaga bimbingan belajar tersebut? Nah, jawabannya saya peroleh ketika pada tahun lalu saya mencoba mengamati dan memperoleh informasi dengan cara menjadi pengajar selama dua bulan di salah satu LBB yang pernah menjadi LBB pilihan pada beberapa tahun yang lalu. Dahulu lembaga ini sangat laris dan selalu bisa menjamin kelulusan tapi sekarang tidak seperti itu lagi. Dari pembicaraan bisik-bisik antara saya dengan penyelengaranya saya memperoleh informasi ternyata dahulu lembaga ini bekerjasama dengan para penentu kebijakan dan penyelenggara UAN pada waktu itu, yang tentu saja uang bermain disini. Bentuk soal dan bocoran soal secara tersamar bisa diperoleh dan pada ujungnya diberikan pada para peserta bimbingan belajar. Sementara saat ini LBB tersebut tidak laku lagi karena para penentu kebijakan dan penyelengara UAN sudah berganti orang-orangnya lalu LBB lain sudah lebih dahulu melobinya dengan uang yang lebih besar. Maka jangan heran kalau sekarang terlihat ada LBB yang dulu laris berubah terpuruk dan ada yang dulu tidak laku sekarang laris berkibar.
Para pengajar di LBB yang sedang laris tersebut sebagian besar adalah para guru sekolah favorit yang diberi honor yang cukup besar serta biasanya mereka membawa murid-murid atau siswa-siswinya untuk mengikuti bimbingan belajar disitu. Inilah jejaring yang terjadi di dalam suatu LBB.
Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS dengan alasan untuk latihan menghadapi UAN diadakan dan saya pernah mengkritisinya dalam artikel saya di HL edukasi kompasiana 22 April 2012, Lembar Kerja Siswa (LKS), Pembodohan dan Bisnis Berkedok Pendidikan.
Artikel saya tersebut mendapat banyak tanggapan dan sebagian besar setuju dengan pendapat saya bahwa LKS hanya menjadi ajang bisnis antara perusahaan percetakan, sekolah dan para guru. Murid-murid dan siswa-siswi mengalami proses pembodohan dan tidak menjadi kritis dalam penalaran serta tidak mampu menyampaikan pendapat dengan baik karena hanya dicecar dengan LKS saja dalam proses belajar mengajarnya. Para guru menjadi pemalas dan tidak kreatif karena LKS sudah disediakan oleh percetakan dan bukan hasil kreatifitas mereka sesuai tuntutan kebutuhan siswa-siswi mereka. Para guru lebih mementingkan memperoleh komisi dari setiap LKS yang dibeli oleh siswa-siswi. Sungguh memalukan sekaligus memprihatinkan.
Mengajarkan Ketidakjujuran
Demi memperoleh kelulusan dan nilai yang tinggi pada UAN sering terjadi kasus pembocoran soal ujian oleh oknum-oknum tertentu pengejar kepentingan pribadi sesaat. Bahkan kadang oleh sekolah sendiri seperti yang sering terjadi setiap kali penyelengaraan UAN.
Akibat dari penerapan sistem UAN, memang berdampak pada larisnya LBB tertentu dan menjamurnya percetakan-percetakan pembuat LKS yang menyerap tenaga kerja, tetapi merusak tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kecerdasan dan kemajuan penalaran siswa- siswi dikorbankan demi kepentingan bisnis percetakan.
Perguruan tinggi menjadi lembaga yang ‘tidak makan nangkanya terkena getahnya’. Mahasiswa-mahasiswi pada umumnya mengalami kesulitan saat menyesuaikan dengan sistem belajar di perguruan tinggi yang membutuhkan kemampuan penalaran dan analisis. Menjadi mahasiswa yang cenderung text-book thinking serta kurang berani menyampaikan pendapat. Maka tidak mengherankan pula kalau akibatnya banyak yang menjadi mahasiswa-mahasiswi copy-paste. Tukang menyontek dan plagiator- plagiatris yang handal. Pada akhirnya kualitas lulusan perguruan tinggi juga menurun.
Sudah saatnya semua pihak mencermati sistem pendidikan kita ini, khususnya penerapan UAN, penyelenggaraan LBB dan pengunaan LKS. Sistem pendidikan formal kita tidak hanya jalan ditempat tapi bahkan mengalami kemerosotan yang sangat tragis dan mencemaskan. Kita pasti akan kehilangan generasi muda yang cerdas dan berpenalaran tinggi kalau sistem pendidikan kita masih seperti ini.
Inilah sekedar ungkapan keprihatinan saya (lagi) terhadap sistem pendidikan kita serta ungkapan kecintaan saya pada generasi muda Indonesia. Saya tidak ingin kehilangan generasi muda yang jujur dan berkualitas. Sebagian generasi tua yang korup dan tidak jujur biarlah mereka menunggu ajalnya saja. Para generasi muda, mari bangkit menempa diri dan mencontoh para generasi tua yang baik saja. Selamat belajar dan berjuang menjadi pribadi yang jujur dan berkualitas.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Sabtu, 26 Januari 2013
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: formatnews.com
0 comments:
Posting Komentar